Rabu, 06 Oktober 2010

Surat Kesembilan (jangan takut mati lampu, akulah lilinmu Ra)

Semarang, 5 Oktober 2010
Kepada Raentung

Rokok, dan pesan singkat
Aku sedang tak ingin susu siang ini, sedikit bosan
Sekali-kali bolehkah kuteguk racun serangga sekedar jeda?

Seperti kemaren, pagi ini pun kota cerah Ra
Secerah wajahmu selepas orgasme pada tri wulan pertama kita ‘pengantin’

Tentu telah kau seduh secangkir kopi pagi ini, untukmu –juga lelakimu-
Sekali-kali, antarlah satu cangkir ke kamarku, maka kita rayakan persekongkolan tepat dipunggung lelakimu.
-hahahaha, penisku selalu tegang tiap awal hari, kau tentu tau itu-
Kau masih ingat cara kita senggama bukan? Aku merindukannya Ra.. sangat! Tapi hanya pada tri wulan pertama kita menyusun musim kawin

Rokokku tinggal sebatang pagi ini
Seorang Teman menonton TV. sebentar, aku ngutang dulu beberapa batang rokok untuk menemaniku mengulang kita yang dulu
Sudah, syukurlah dua batang jarum super berhasil ku pinjam
Aku menyulutnya sedikit gusar, ini pertanda kenangan kita berdatangan. Ya, aku mengundangnya dengan asap-asap, untung kenangan itu sedang tak sibuk, maka hadirlah mereka pada jamuan yang kususun demi mengenang dulu : kau dan aku.

Musim kawin bulan ketiga telah usai
Aku tak pernah mencium tanda ; pada mimpi, firasat jasad, atau kejadian ganjil pada alam tentang kita
Namun setelahnya kau lebih dingin dari salju, aku kedinginan Ra
Kenapa tak lagi mau kau cumbu aku dengan hangat? Apa pengantin kita hanya sesaat? Sekedar siasat bahwa kau ingin memikatku hingga lekat
Sedang aku mendambamu untuk jasad dan roh, bahkan apapun yang melekat padamu Ra, kupaguti dengan rasa, sebab aku mencintaimu secara utuh ; apa cintaku yang justru tak wajar?
Kau mencintaiku? Ya, jawabmu. Namun pada malam yang lain kau menulis cinta yang kosong, mendustakan kesejatian cinta secara rata –aku bingung memegangmu Ra, pada kalimat yang mana musti kusimpan kepercayaan?-
Malam selanjutnya seusai bulan ketiga tenggelam menjelma malam yang kaku.  Kau menciumku, namun nafasmu lari pada entah. Kau memandangku, sedang matamu pergi untuk sesuatu yang entah. Tanggallah segala kehangatan yang selalu aku jaga. Aku kaku pelan-pelan, selanjutnya akulah lilin untukmu
Hahahaha, biarlah kubakari jasadku sayang. Biar ku lenyapkan ‘aku’ agar kau bisa teratur bersendawa. Sebab aku tak lagi kekasihmu. Aku semacam baju yang musti menghangatkanmu, maka biarlah aku kedinginan hingga lupa rasa. Menjagamu hingga aku belepotan noda-noda.
Biar! kelak jangan salahkan jika aku tinggal jasad!

Aku mencintaimu
Kenapa tak kita gelar sebuah perjamuan ketika semua belum terlambat? Ku taruhi firasat-firasat di atas ranjang. Ia basi setelah pagi. Ku Taburi tanda-tanda di atas kopi yang kita seduh pagi hari, ia tuntas tanpa kau baca. Kau seperti mematungku.

Ra, Apa kau sekedar kasihan denganku Saat itu?
Aku mencintaimu. Dan setelahnya jangan heran jika kau hanya kusentuh ala-kadarnya.

Rokokku habis lagi Ra
Aku tak enak menyapa temanku di ruang Tv

Kau sedang apa sekarang? Dengan lelakimu kah?
Kelak, apa boleh kutikam ia dengan belati tumpul? Agar matinya tak tergesa. Setidaknya ia tahu sakit itu tidak enak. Hahahaha, aku tak lagi takut membunuh sekarang. Apa bedanya di di penjara atau tidak? Toh pada keduanya aku tak mampu memilikumu!

Sudahlah, aku seperti mengigau pagi ini. Ya, Kusudahi dulu suratku.
 Kau kini tahu, betapa aku tersiksa setelah bulan ketiga habis. Apa kau telah merasa saat itu?

Aku merinduimu Ra, sudahkah kau potong rambutmu bulan ini?

eL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar